utusan malaysia terkini
Mengapa AS Tak Mau Bayar Tebusan untuk Bebaskan James Foley?
indah.com
Mengapa AS Tak Mau Bayar Tebusan untuk Bebaskan James Foley?
22/8/14
Foto yang diambil pada September 2011 ini menampilkan James Foley sedang beristirehat di sebuah ruangan di Lapangan Terbang Sirte, Libya.
WASHINGTON, Pemerintah AS tentu telah berusaha untuk menyelamatkan James Foley sebelum dia dieksekusi militan ISIS yang kini berganti nama menjadi Negara Islam. Sejumlah laporan di media AS sebelumnya mengatakan, satu serangan rahsia pasukan komando telah dilakukan dalam usaha untuk menyelamatkan wartawan Amerika itu dan sejumlah mangsa culik lainnya. Namun, serangan tersebut gagal keraena para penculik itu tidak berada di lokasi yang dituju.
Laporan terbaru media AS menyebutkan, ada satu taktik yang pemerintah negara itu tidak cuba, yaitu membayar wang tebusan. David Rohde, seorang wartawan yang disegani yang bekerja untuk Atlantik dan kantor berita Reuters, menyinggung hal itu pada Rabu (20/8/2014), ketika dia bertanya-tanya apakah kebijakan luar negeri AS menolak bernegosiasi dengan para penculik telah gagal untuk kes Foley. Rohde menunjukkan bahawa sejumlah wartawan dari negara lain rupanya telah dibebaskan setelah pemerintah mereka membayar sejumlah besar wang kepada ISIS, sesuatu yang ditolak Pemerintah AS (meskipun perorangan dan lembaga mungkin melakukannya).
Rohde tahu benar apa yang bicarakannya. Sebagai seorang wartawan yang bekerja di Afganistan pada 2008, dia ditangkap Taliban dan ditahan selama tujuh bulan. Tidak ada wang tebusan yang dibayarkan, tetapi dia akhirnya berhasil melarikan diri. Argumennya ditopang laporan kantor berita Associated Press bahawa ISIS meminta kepada keluarga Foley wang tebusan sebesar 133 juta dollar AS , tetapi tampaknya permintaan itu ditolak Pemerintah AS.
Ini bukan soal angka. Seratus juta dollar adalah wang yang banyak, tetapi nyawa tak ternilai harganya. Walau AS umumnya menolak untuk bernegosiasi dengan para penculik, pada saat-saat tertentu, itu dilakukan, seperti yang terjadi pada pertukaran Sersan Bowe Bergdahl dengan lima komandan Taliban belum lama ini. Namun, argumen Pemerintah AS tidak membayar wang tebusan sangat jelas: penolakan itu akan menyingkirkan motif utama untuk menculik warga negara asing dan menghentikan kumpulan pengganas atau kelompok kriminal dari kemungkinan mendapatkan dana dalam jumlah besar.
Ketika berbicara di Chatham House yang berbasis di London pada 2012, David Cohen, wakil menteri urusan terorisme dan intelijen kewangan di Kementerian Kewangan AS, menjelaskan logika AS terkait penculikan dan wang tebusan. "Pembayaran wang tebusan menyebabkan penculikan pada masa depan dan penculikan pada masa depan pada gilirannya menyebabkan pembayaran wang tebusan yang semakin besar. Semua itu membangun kapasiti organisasi teroris untuk melakukan serangan," kata Cohen. "Kita harus menemukan cara untuk memutus siklus tersebut. Menolak untuk membayar wang tebusan atau membuat konsesi lain dengan teroris adalah cara terbaik untuk memutus siklus itu. Sebab, jika para penculik secara konsisten gagal mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka akan punya insentif kuat untuk berhenti melakukan penculikan."
Menurut Washington Post, secara resmi, sebahagian besar pemerintah menganut teori itu. Namun, dalam praktiknya, Amerika Syarikat dan England tampak tidak konsisten dalam penolakan mereka membayar wang tebusan, dan banyak negara lain tampaknya menemukan celah. "Walau Perancis mengklaim bahawa mereka tidak membayar wang tebusan secara langsung, tampaknya wang itu disalurkan melalui atasan dari orang-orang yang diculik. Atasan itu kemudian bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran," kata Martin Michelot, pegawai di German Marshall Fund's Paris.
Berdasarkan penyiastan New York Times baru-baru ini, Perancis telah menyalurkan 58 juta dollar AS bagi pembayaran wang tebusan sejak tahun 2008. Itu merupakan jumlah terbesar dibanding negara mana pun. Jumlah itu diikuti Swiss sebesar 12.4 juta dollar dan Sepanyol sebanyak 5.9 juta dollar, lapor Times. Tindakan membayar tebusan itu mungkin memang berdampak bagi negara-negara yang melakukannya. Tahun lalu, misalnya, ada lebih banyak sandera Perancis di seluruh dunia dibanding negara-negara lainnya, walau hal itu juga mungkin akibat intervensi Perancis di luar negeri, di tempat-tempat seperti Mali dan Libya. Setidaknya satu orang warga Perancis yang disekap bersama Foley.
Di negara-negara yang membayar uang tebusan, tampak ada perasaan yang campur aduk tentang praktik tersebut. Tahun lalu Presiden Perancis Francois Hollande mengatakan kepada keluarga para sandera yang ditahan di wilayah Sahel Afrika bahwa tidak akan ada lagi uang tebusan yang dibayarkan, meskipun beberapa bulan kemudian ada laporan di media Perancis tentang adanya uang dalam jumlah lebih banyak yang dibayarkan.
Jerman juga mempertanyakan pembayaran uang tebusannya untuk para teroris. "Kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita bisa hidup dengan fakta bahwa uang yang kita bayarkan sebagai tebusan bagi para sandera dapat digunakan untuk membeli senjata yang bisa membunuh tentara kita di Afganistan," kata seorang pakar keamanan Pemerintah Jerman dalam sebuah wawancara di surat kabar pada 2007.
Negara-negara di mana para sandera ditahan juga kadang-kadang mengeluh tentang uang tebusan. "Yaman berulang kali menolak untuk menangani pembebasan sandera yang diculik dengan pembayaran uang tebusan bagi para penculik," kata Menteri Luar Negeri Yaman, Abu Bakr al-Qirbi, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Arab Saudi Asharq al-Aswat tahun lalu. "Kami tidak ingin hal ini akan membuat banyak orang asing di Yaman menjadi sasaran penculikan karena para penculik lainnya akan berusaha untuk mendapat uang tebusan juga," kata Qirbi.
Jadi, mengapa harus membayar uang tebusan? Yang mengerikan dari kematian Foley adalah mengapa tidak membayar tebusan. Segelintir politisi ingin menjelaskan kepada keluarga bahwa mereka bisa menyelamatkan sandera, tetapi mereka tidak melakukan itu. Risiko politik untuk itu juga sangat besar.
Sebaliknya, kematian Foley menunjukkan bahwa logika menolak uang tebusan tidak selalu berfungsi. Seorang warga AS telah disandera dan disekap selama hampir dua tahun, walau AS terkenal karena penolakannya membayar tebusan. Jika laporan tentang permintaan uang tebusan 133 juta dollar benar, hal itu akan menunjukkan bahwa ISIS tidak benar-benar berharap agar dibayar. Tampak bahwa bahkan tanpa tebusan, seorang sandera AS tetap berharga.
Laporan terbaru media AS menyebutkan, ada satu taktik yang pemerintah negara itu tidak cuba, yaitu membayar wang tebusan. David Rohde, seorang wartawan yang disegani yang bekerja untuk Atlantik dan kantor berita Reuters, menyinggung hal itu pada Rabu (20/8/2014), ketika dia bertanya-tanya apakah kebijakan luar negeri AS menolak bernegosiasi dengan para penculik telah gagal untuk kes Foley. Rohde menunjukkan bahawa sejumlah wartawan dari negara lain rupanya telah dibebaskan setelah pemerintah mereka membayar sejumlah besar wang kepada ISIS, sesuatu yang ditolak Pemerintah AS (meskipun perorangan dan lembaga mungkin melakukannya).
Rohde tahu benar apa yang bicarakannya. Sebagai seorang wartawan yang bekerja di Afganistan pada 2008, dia ditangkap Taliban dan ditahan selama tujuh bulan. Tidak ada wang tebusan yang dibayarkan, tetapi dia akhirnya berhasil melarikan diri. Argumennya ditopang laporan kantor berita Associated Press bahawa ISIS meminta kepada keluarga Foley wang tebusan sebesar 133 juta dollar AS , tetapi tampaknya permintaan itu ditolak Pemerintah AS.
Ini bukan soal angka. Seratus juta dollar adalah wang yang banyak, tetapi nyawa tak ternilai harganya. Walau AS umumnya menolak untuk bernegosiasi dengan para penculik, pada saat-saat tertentu, itu dilakukan, seperti yang terjadi pada pertukaran Sersan Bowe Bergdahl dengan lima komandan Taliban belum lama ini. Namun, argumen Pemerintah AS tidak membayar wang tebusan sangat jelas: penolakan itu akan menyingkirkan motif utama untuk menculik warga negara asing dan menghentikan kumpulan pengganas atau kelompok kriminal dari kemungkinan mendapatkan dana dalam jumlah besar.
Ketika berbicara di Chatham House yang berbasis di London pada 2012, David Cohen, wakil menteri urusan terorisme dan intelijen kewangan di Kementerian Kewangan AS, menjelaskan logika AS terkait penculikan dan wang tebusan. "Pembayaran wang tebusan menyebabkan penculikan pada masa depan dan penculikan pada masa depan pada gilirannya menyebabkan pembayaran wang tebusan yang semakin besar. Semua itu membangun kapasiti organisasi teroris untuk melakukan serangan," kata Cohen. "Kita harus menemukan cara untuk memutus siklus tersebut. Menolak untuk membayar wang tebusan atau membuat konsesi lain dengan teroris adalah cara terbaik untuk memutus siklus itu. Sebab, jika para penculik secara konsisten gagal mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka akan punya insentif kuat untuk berhenti melakukan penculikan."
Menurut Washington Post, secara resmi, sebahagian besar pemerintah menganut teori itu. Namun, dalam praktiknya, Amerika Syarikat dan England tampak tidak konsisten dalam penolakan mereka membayar wang tebusan, dan banyak negara lain tampaknya menemukan celah. "Walau Perancis mengklaim bahawa mereka tidak membayar wang tebusan secara langsung, tampaknya wang itu disalurkan melalui atasan dari orang-orang yang diculik. Atasan itu kemudian bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran," kata Martin Michelot, pegawai di German Marshall Fund's Paris.
Berdasarkan penyiastan New York Times baru-baru ini, Perancis telah menyalurkan 58 juta dollar AS bagi pembayaran wang tebusan sejak tahun 2008. Itu merupakan jumlah terbesar dibanding negara mana pun. Jumlah itu diikuti Swiss sebesar 12.4 juta dollar dan Sepanyol sebanyak 5.9 juta dollar, lapor Times. Tindakan membayar tebusan itu mungkin memang berdampak bagi negara-negara yang melakukannya. Tahun lalu, misalnya, ada lebih banyak sandera Perancis di seluruh dunia dibanding negara-negara lainnya, walau hal itu juga mungkin akibat intervensi Perancis di luar negeri, di tempat-tempat seperti Mali dan Libya. Setidaknya satu orang warga Perancis yang disekap bersama Foley.
Di negara-negara yang membayar uang tebusan, tampak ada perasaan yang campur aduk tentang praktik tersebut. Tahun lalu Presiden Perancis Francois Hollande mengatakan kepada keluarga para sandera yang ditahan di wilayah Sahel Afrika bahwa tidak akan ada lagi uang tebusan yang dibayarkan, meskipun beberapa bulan kemudian ada laporan di media Perancis tentang adanya uang dalam jumlah lebih banyak yang dibayarkan.
Jerman juga mempertanyakan pembayaran uang tebusannya untuk para teroris. "Kita perlu bertanya pada diri sendiri apakah kita bisa hidup dengan fakta bahwa uang yang kita bayarkan sebagai tebusan bagi para sandera dapat digunakan untuk membeli senjata yang bisa membunuh tentara kita di Afganistan," kata seorang pakar keamanan Pemerintah Jerman dalam sebuah wawancara di surat kabar pada 2007.
Negara-negara di mana para sandera ditahan juga kadang-kadang mengeluh tentang uang tebusan. "Yaman berulang kali menolak untuk menangani pembebasan sandera yang diculik dengan pembayaran uang tebusan bagi para penculik," kata Menteri Luar Negeri Yaman, Abu Bakr al-Qirbi, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Arab Saudi Asharq al-Aswat tahun lalu. "Kami tidak ingin hal ini akan membuat banyak orang asing di Yaman menjadi sasaran penculikan karena para penculik lainnya akan berusaha untuk mendapat uang tebusan juga," kata Qirbi.
Jadi, mengapa harus membayar uang tebusan? Yang mengerikan dari kematian Foley adalah mengapa tidak membayar tebusan. Segelintir politisi ingin menjelaskan kepada keluarga bahwa mereka bisa menyelamatkan sandera, tetapi mereka tidak melakukan itu. Risiko politik untuk itu juga sangat besar.
Sebaliknya, kematian Foley menunjukkan bahwa logika menolak uang tebusan tidak selalu berfungsi. Seorang warga AS telah disandera dan disekap selama hampir dua tahun, walau AS terkenal karena penolakannya membayar tebusan. Jika laporan tentang permintaan uang tebusan 133 juta dollar benar, hal itu akan menunjukkan bahwa ISIS tidak benar-benar berharap agar dibayar. Tampak bahwa bahkan tanpa tebusan, seorang sandera AS tetap berharga.
Editor | : Egidius Patnistik/ KOMPAS.COM |
No comments:
Post a Comment